Ads 500x60px

.

Featured Posts

assalamualaikum

04/11/11

Selamat kepada Mahasiswa Penerima Bidik Misi Tahu 2011











Pengukuhan dan Silaturahmi Penerima Beasiswa Bidik Misi Tahun 2011

Serang ,Senin, 24 Oktober 2011 bertempat di Ruang Rapat Rektor Gedung Rektorat Lantai 2 dilaksanakan acara  Pengukuhan dan Silaturahmi Penerima  Beasiswa Bidik Misi Tahun 2011.
Rektor Untirta Prof Dr.H.Sholeh Hidayat M.Pd
 Acara kali ini dihadiri oleh Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang baru yakni Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd Dalam sambutannya Rektor berpesan kepada para mahasiswa penerima Bidik Misi 2011 agar mengemban amanat ini dengan sebaik-baiknya karena dana beasiswa yang mahasiswa terima adalah uang negara. Mahasiswa diharapkan mampu menjadi agent of change dan turut andil dalam proses pembangunan. mahasiswa juga diharapkan mengamalkan serta menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada masyarakat. 

Tahun 2011 ini Universitas Sultan Ageng Tirtayasa mendapat kouta Bidik Misi sebanyak 100 orang,proses rekrutmen dan penyeleksian calon penerima Bidik Misi dilakukan dengan ketat. Penerimaan Mahasiswa Bidik Misi 2011 dilakukan berbeda dengan penerimaan tahun sebelumnya. Yang mana pada tahun 2010 proses pendaftaran dilakukan manual melalui pengiriman berkas di kantor pos, akan tetapi tahun 2011 menggunakan jalur online sehingga memudahkan para calon pelamar Bidik Misi.

acara  Pengukuhan dan Silaturahmi Penerima  Beasiswa Bidik Misi Tahun 2011 ini juga dihadiri oleh Bagian Kemahasiswaan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Kepala Bagian Kemahasiswaan Bapak Drs. M. Ganiadi MM, Kasubag Kemahasiswaan Bapak Drs.Agus Tiar serta para Staf kemahasiswaan.
Kepala Kemahasiswaan Untirta Bapak Drs.M.Ganiadi
Kasubag Kemahasiswaaan Bapak Drs.Agus Tiar      

selain Pengukuhan dan Silaturahmi Penerima  Beasiswa Bidik Misi, pengurus Ikadiksi mengisinya dengan pemberian Kado dan ucapan selamat kepada mahasiswa 2010 atas diraihnya  Indeks Prestasi ( IP ) sempurna yakni 4. Mahasiswa tersebut adalah Melati Kushardiyanti Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi di semester 1 dan Suhendi Jurusan PGSD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di semester II. Pemberian Hadiah dilakukan oleh Kasubag Kemahasiswaan.
Selamat yah untuk Melati ^_^

karena lain hal Suhendi tidak bisa datang tepat waktu,akhirnya penerimaan hadiah diwakilkan oleh Ade Irfan Jur Komunikasi    

12/10/11





 KAMI KELUARGA BESAR MAHASISWA BIDIK MISI UNTIRTA MENGUCAPKAN :

SELAMAT DAN SUKSES KEPADA PARA MAHASISWA YANG DITETAPKAN MENAJADI PENERIMA BEASISWA BIDIK MISI TAHUN 2011.

SEMOGA MENJADI MOTIFASI UNTUK BERPRESTASI DEMI NEGERI.

Ketua 
Tb.Ansor Nasrulloh

30/09/11

Berlabuh dalam Kehampaan


 Berlabuh dalam Kehampaan


Disini kosong tak ada teka-teki
menghirup udara segar
tengok ke kursi goyang
ada gema kecil
"sebentar....."
kutunggu burung bernyanyi
bersorakan suara emas
mungkin ada, tapi samar tuk didengar
ada lorong kecil tapi tak beratap
dan ku tengok,
"sebentar....."
ini bukan dadu, percayalah
tapi roda delman berkuda jantan

(dibuat karena pencairan kedua yang telat)

HUTAN MUNGIL DI TEPI BAJA ( sebuah cerpen )




 HUTAN MUNGIL DI TEPI BAJA *

Siang itu, matahari hampir berada di atas kepala-kepala penghuni bumi. Memancarkan teriknya ke segala penjuru ruang hingga masuk ke celah-celah kecil ranting dedaunan. Sinarnya sedikit galau tertimpa debu-debu yang beterbangan di sekitar jalan. Burung kecil enggan menyanyikan lagu ceria, bahkan tak terlihat sayap mungilnya. Ada rumput hijau, namun tak berpenghuni. Di tepi jalan masih terdengar teriakan kondektur bus yang memanggil-manggil ‘Neng-nya agar sedia naik ke rumah pak sopir yang ber-AC dan penuh dengan deretan kursi empuk. “Kali Deres, Labuan……Kali Deres, Labuan….”, itu kata-kata yang sempat terdengar.

 Bunyi klakson bersahut-sahutan dengan intensitas bunyi yang cukup membisingkan telinga, bak sorakan supporter bola atas kemenangan tim idolanya di laga pertandingan. Disambut dengan getaran suara yang agak menggelegar, membentuk kolaborasi bunyi yang tak beraturan dengan teriakan dan bunyi klakson tadi, menambah ricuh suasana. Getaran suara itu berasal dari sebuah mikrofon kecil yang berada di atas gerbang utama. Di sudut pos jaga depan, tampak seorang satpam yang sedang berkoar-koar, “Arimbi maju,,,Prima maju….segera!”, memberi peringatan pada bus-bus yang parkir di jalan, tepat di depan gerbang utama Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). Itulah sosok yang menampilkan getaran suara tadi. Di kanan kiri pintu masuk berjejer pedagang-pedagang kecil yang mengais rizki di tempat itu. Mereka memakai gerobak dorong. Namun, ada juga yang membuat warung kecil untuk menjual makanan dan minuman ringan. Tampak beberapa mahasiswa nongkrong dan ngemil sambil menunggu angkot atau bus yang melintas. Di dalam warung, duduk seorang ibu dengan kantuknya dan sesekali memejamkan mata, terhipnotis oleh cuaca hari itu. Sedangkan penjual petis sibuk mengupas mangga yang belum benar-benar matang dengan pisau stainless bergagang hitam.

Masuklah ke dalam. Beberapa meter dari gerbang utama berdiri bangunan kokoh. Atapnya berbentuk limas-limas segi empat, semakin ke atas ukurannya semakin kecil. Di puncaknya berdiri tegak seng mengkilap yang membentuk lafadz Allah. Sungguh cemerlang bila dilihat dari jarak yang jauh. Sebelum sampai ke teras, coba tengoklah plang yang berdiri di kolam kecil berair sedikit, tak sampai dua kulah. Ada dua katak besar yang sedang bertaaruf tanpa hijab. Tidak tahu apa yang sedang disyurohkannya. Mungkin itu bisa diterjemahkan oleh seorang pujangga mahir. Lihat saja lebih dekat, tentu anda akan mengatakan, “Ini bukan katak sungguhan.”. Benar. Mereka hanyalah patung katak yang dibuat manusia untuk menghiasi kolam.  Tetapi bukan itu yang aku maksud. Sebuah nama yang tertulis di plang itulah yang harus kau baca, “Masjid Syeikh Nawawi Al Bantani”,  yang tidak lain adalah nama bangunan beratap limas tadi. Tanpa aku beri tahu, tentu semua sudah paha keagungan bangunan suci tersebut.

Di sisi pojok teras, dibuat petak kecil. Pembatasnya dari papan yang berkotak-kotak. Cukup untuk meletakan sepasang sepatu. Memang benar, tempat itu untuk menyimpan alas kaki jamaah yang ingin menunaikan kewajibannya, menghadap kepada sang khalik, Allah Swt. Di sampingnya ada pendingin minuman. Macam-macam minuman  ada di dalamnya dengan harga yang sudah tertera. Tentu untuk hamba-hamba Allah yang dahaga setelah bergulat dengan dunia kampus. Ada sebuah kursi yang sengaja diletakan di tengah petak tadi. Di atasnya duduk seorang pemuda yang tengah membuka lembaran-lembaran kertas yang penuh dengan tulisan. Menggendong sebuah tas hitam, tak banyak buku di dalamnya. Sungguh penjaga sepatu yang rajin. Bukan! Orang itu adalah aku, akhi. Bukan penjaga sepatu yang kau kira. Sudah lama aku duduk di kursi itu, sekitar satu setengah jam. Sesekali menyapu halaman kampus dengan pandangan mata. Tak nampak batang hidung yang kutunggu. “Tunggu sebentar, kami sedang syuroh!”. “Sebentar lagi sampai. Ane masih diperjalaan, Akhi.” Hanya pesan singkat itu yang terbaca dari kotak masuk SMS (Short Message Service) di handphone-ku. Sempat menghibur hati yang gundah gulana, namun itu hanya sebentar. ”Menunggu, sesuatu yang sangat menyebalkan….”, sepenggal lagu dari Zivilia yang berjudul Aishiteru cukup mendeskripsikan suasana hati. Ya, memang itu yang tengah ku alami. Apakah mereka ikhwan dan akhwat yang menyebalkan? Tidak. Sekali lagi tidak. Mereka adalah sohib terbaik bagiku untuk hari ini, esok, dan seterusnya. Tetap menyatu dalam persahaban Illahi. Insya Allah. Sebentar lagi, langkah tegar mereka pasti kulihat.

Jarum jam sedikit bergeser, menuntun hari yang semakin terik. Wajah-wajah alam patuh terhadap perputarannya. Namun, bola pijar raksasa belum sampai tepat di atas tower listrik. Jemari masih asyik membuka lembaran-lembaran buku. Sedangkan kedua mata memainkan perannya sebagai reseptor yang menangkap untaian kalimat bertinta hitam dan meneruskannya ke otak. Tak peduli suasana sekitar. Kurasakan tangan manusia menepuk bahu dari arah belakang. Tidak begitu keras. Ah! Mungkin itu hanya perasaanku saja yang terbawa angan-angan atas harapan kedatangan mereka. “Assalamualaikum, Akhi.”, suara itu terdengar keras, sangat dekat dengan tempat aku duduk. “Walaikumsalam.”, sahutku agak kaget. Itu Didin, salah satu orang yang kutunggu sejak tadi. Disusul oleh Sufi yang datang setelah izin meninggalkan syuroh. Benar saja, mereka pasti datang dan tidak mungkin melangkahi janji. Kami bercakap-cakap sebentar karena terusik oleh deringan handphone yang mengisyaratkan pesan singkat masuk. “Kalo mau berangkat bareng dengan mobil, buruan. Kita tunggu di jalan.” Aneh. Benar-benar aneh. Bukankah mereka masih syuroh? Gerak tubuhnya pun tak kulihat melewati halaman depan masjid. Namun, tak perlu kupikirkan dari mana dia jalan hingga ke luar kampus. Yang jelas, mereka bukan keluarga kuntilanak yang dengan mudahnya menerobos ruang dan waktu seperi di bioskop-bioskop. Itu pun hanya mitos dan pemikiran klasik belaka. 
Panas matahari membuat mimik wajah berubah, cepat-cepat kumasukan kedua kaki ke dalam sepatu. Tidak perlu merapikan tali sepatu karena menggunakan perekat untuk mengendurkan atau mengencangkan sepatu. “Malia bawa mobil pribadi.”, kata Sufi. Kalimat itu menghentikan jari tangan yang tengah mengencangkan sepatu. Teka-teki yang bersarang di benaku terjawab sudah. Mobil. Sebuah kata tunggal yang mampu bertipu muslihat dengan pemikiranku. Mobil angkot dan mobil pribadi. Langkahku meyakinkan menuju jalan besar di luar kampus, seperti tidak ada kesalahan dan kekeliruan yang pernah terjadi. Ya, hal itu tidak ingin kutunjukan.

Di tepi jalan, dekat dengan warung kecil tampak sebuah mobil Avanza berwarna silver. Menutupi pedagang tahu goreng yang biasa mangkal di tepi jalan itu. Sementara, aku masih tidak yakin kalau Malia yang mengendarai silver beroda empat itu. Mungkin saja dia mengajak pamannya atau tetangganya yang dijadikan sopir sementara. “Malia bisa mengemudikan mobil?”, pertanyaan itu terbang di kepalaku, menari bersama kepulan asap rokok yang berasal dari sudut warung tadi. Tak ingin berlama-lama di luar, akhirnya Sufi membuka pintu mobil bagian tengah secara perlahan. Subhanallah! Ternyata praduga itu salah. Memang Malia lah pengemudinya. Itu kekeliruan yang kedua kalinya dan tak ingin kutunjukan pula. Toh, tidak ada burung yang berkicau. Rasa kagum berkolaborasi bersama sukacita yang bertunas di dasar hati. Tak mungkin tidak, Malia yang terlihat lembut di kelas, sekarang menjadi sosok pahlawan bagi kami, bak Raden Ajeng Kartini yang teguh membela kaumnya yang lemah. Mungkin dia adalah titisannya yang berkiprah di era globalisasi ini. Sosok wanita lemper. Namun, jangan sekali-kali membayangkan makanan yang terbuat dari nasi ketan dan dibungkus dengan daun pisang itu. Tidak juga menanyakan pada seorang nenek yang tengah mengunyah daun sirih di bawah pintu dapur yang reot. Cukup tiga kata untuk mengartikan sebuah kata itu, Lembut tapi Perkasa. Ya benar. Memang kata itu hanyalah bentuk akronim saja. Entah itu sudah lumrah ataukah dipaksakan.

Angin siang mengambil alih komando terik matahari. Menghidupkan aura pepohonan yang sempat letih dan membisu. Kini mampu menyapa setiap pejalan kaki yang berteduh di bawahnya. Semilir angin yang bertiup sepoi-sepoi, telah mampu melerai suara klakson dan teriakan sopir angkot yang sedang bentrok, bak bentrokan di Cikeusik beberapa waktu lalu. Namun, tetap saja ada yang kurang. Tak nampak seekor burung pun yang bertengger di atas pohon. Apalagi mendengarkan akustiknya. Apakah mereka sudah bosan dengan lingkungan Pakupatan atau benci terhadap ulah manusia yang sudah angkuh dan tak bersahabat dengannya? Mungkin seperti itu. Hanya spanduk komersial yang setia mengiringi perputaran roda yang patuh terhadap kehendak sang Lemper. Siap melaju kemanapun Tuannya menuju, meski kecepatannya tidak segesit mobil yang di depan dan di belakang. Tapi tak mengapa, agar delapan kepala yang ada di dalamnya selamat hingga tujuan, tentu dengan pertolongan-Nya. Benar, jumlahnya delapan orang. Bagian belakang untuk ikhwan (laki-laki). Di depan ada Ihat yang tengah bercakap dengan Malia meski kedua tangannya bersilaturahmi dengan stir mobil. Tidak mengerti apa yang diperbincangkannya. Sedangkan, di bagian tengah duduk tiga orang akhwat (wanita). Di posisi paling kanan tampak Ria dengan beberapa lembar koran yang sedang dibacanya. Menampilkan berita-berita aktual dengan gambar-gambar hasil jepretan wartawan. Dua orang lainnya, Rahmah dan Tami juga sibuk mebicarakan sesuatu. Entah harga sembako atau arisan yang menjadi topik pembicaraannya. Kami di belakang tak etis untuk menanyakannya. Nyiur masih melambai-lambai di ruangan mobil, membuat sejuk suasana. Kami tak perlu membuka jendela mobil, seperti yang sering dilakukan di angkutan kota. Akan tetapi, udaranya telah terfermentasi oleh teknologi canggih bernama AC.
“Abi Toserba”. Sebuah tempat yang telah lama kukenal. Letaknya berhadapan dengan SuperMall Cilegon. Masyarakat memanggil tempat itu, Toko Abi. Memang toko, toko serba ada. Itukah tempat yang akan kami kunjungi? “Katakan Peta,,,,,katakan Peta,,,,”, aku langsung teringat tayangan Dora the Explorer di layar kaca dengan teman monyetnya yang cerewet. Mereka selalu menggunakan peta sebagai penunjuk letak tempat yang tengah dicari. Tepat sekali, itulah nama tempat yang akan kami tuju.

Laju mobil menunjukan geraknya yang makin lambat. Merapat ke tepi jalan dan akhirnya terhenti, tepat di depan bengkel motor. Mesinnya tak menderu lagi. Mengakhiri kisahnya tuk sementara waktu. “Katanya mau ke Toko Abi, kenapa berhenti di sini?”, aku membatin. Tak jauh dari bengkel itu, tampak sepasang kambing yang tengah memperhatikan badan mobil. Seolah-olah mereka bisa melihat kegalauanku di dalam keraton berklakson itu dan mengatakan, “Mungkin bannya bocor, Mas.” Pemuda yang memegang tang dan kunci inggris di serambi bengkel menambah pembenaran pikiranku perihal ban tadi.   Aduh! Sepertinya ini kekeliruanku yang ketiga. Sosok akhwat muncul dari lorong pemukiman warga. Masuk ke dalam mobil dengan kalimat salam yang keluar dari indera pengecapnya. “Walaikumsalam”, jawab kami serentak. Itu Sofi yang kemudian duduk di sebelah kiri Rahmah. Namanya mirip dengan ikhwan yang ada di belakang, Sufi, tapi mereka bukan pinang yang di belah kapak. Sepupu juga bukan, hanya kebetulan saja.
Brem…brem….”, mesin mobil mulai menderu kembali. Terbangun dari tidurnya meskipun sebentar. Untuk sampai ke Abi Toserba, kami harus melewati Jalan Kepandean dan Kramat Watu. Sedangkan waktu yang ditempuh sekitar setengah jam.

Awan putih laksana lembaran sutra yang nyaris membingkai lembaran kertas biru.  Ada juga yang berarakan tak beraturan membentuk goresan-goresan gambar beraliran Ekspresionisme pada kanvas raksasa. Pencahayaan yang baik menambah cemerlangnya lukisan siang, karya Sang Mahakuasa yang tak ternilai. Menara -menara masjid menjulang tinggi mencakar langit. Bayangan sucinya lepas di udara hingga menembus cakrawala. Panglima  lalu lintas bemata tiga merapikan barisan prajuritnya. Sebagian ada yang diberangkatkan, sebagian yang lain berjejer dalam barisan yang teratur. Tegas dan bijaksana. Seperti tadi, laju mobil masih kalem dan memang tak perlu tergesa-gesa. Serangkaian kata tercipta di ruang mobil, baik obrolan biasa maupun yang bisa meningkatkan kinerja otak. Kulihat lampu-lampu jalan masih ngambek karena tuntutannya yang belum dipenuhi alam. Lain halnya dengan sederetan tukang ojek yang tampak bersenda gurau meski tak ada nona yang bisa dibawa berkeliling kota.

Malia mulai memainkan stir mobilnya menuju lorong. Masuk ke dalam gang kecil. Di sambut dengan penjaga parkir yang duduk santai di pos depan, melayangkan secarik kertas kecil. Seketika itu juga penghalang jalan menunjukan kesantunannya, mengerti bahwa ada tamu yang datang. Di sisi kiri, tumbuh pohon jambu dan pohon mangga yang tinggi. Daunnya yang lebat mengayomi kendaraan yang diparkir di bawahnya, membuat sejuk suasana siang itu. Beberapa buahnya jatuh tergeletak di tanah ulah si kalong yang nakal. Pucuk daunnya ada yang sampai menyentuh atap mushola kecil.   Mobil merapat tepat di bawah pohon markisa yang beranjang-anjang besi. “Alhamdulillah, kita sudah sampai.”, ucapku seraya memimpin gerakan untuk melihat pemandangan sekitar. Tidak lama memandang karena panggilan suci sudah di kumandangkan beberapa menit lalu. Menyeru umat muslim untuk segera bertaqorub dan bermunajat kepada Allah. Aliran air yang memancar dari keran membasahi seluruh muka. Percikannya menjadi anugrah bagi bunga-bunga dalam pot yang ada di sekitarnya. Segera kami tunaikan shalat Dhuhur di sebuah mushola kecil yang letaknya sekitar sepuluh meter dari pos jaga. Mushola yang tidak dilengkapi mikrofon. Cukup untuk sembilan orang dengan dua shaf.
Hari ini tidak begitu banyak pengunjung yang datang ke toko yang letaknya di Jalan Protokol, kota Cilegon itu. Toko yang menjual beraneka macam kebutuhan baik perlengkapan maupun peralatan. Toko Serba Ada. Kalimat yang cukup untuk mendeskripsikan tempat itu. Aku, Didin , dan Sufi keluar dari depan pintu toko. Tak satu pun barang yang dijinjing. Bukan tidak ada yang sreg, memang bukan itu tujuan kami.
Duduk di bawah pohon yang rindang memang sejuk. Kantuk yang menyelimuti mata membuatku sesekali terpejam. Tak sampai tidur karena terhibur oleh semut merah yang sedang berjabat tangan dengan sesama muhrimnya. Seekor lalat terbang gelisah dan tak tentu arah di sekitarku. Seolah-olah ada yang ingin dikatakannya, cukup empat mata saja, “Lihat, temanmu sudah datang.’. Benar saja, di bawah pohon mangga sudah ada Aris, Nunung, dan Yanti yang tengah memarkirkan motornya. Lengkaplah sekelompok sohib yang ingin mengencangkan ikatan tali silaturahmi ini.

 “Sudah shalat, Ris”, tanyaku. “Belum!” jawabnya dengan singkat. “Kapan? Setelah mati? Gentayangan…baru shalat gitu?” aku bergurau meski dengan nada agak membentak. “Ya udah lah..masak belum. Gimana sih!”. Dia balik membentak, tapi hanya bergurau juga. “Hehehe….”, kami tertawa bersama. Pohon delima ikut tersenyum melihat tingkah segerombol manusia yang akrab.
Dua puluh meter dari pos jaga  parkir ada sebuah rumah makan yang bernama Saung Abi. Mungkin masih satu pemilik dengan Abi Toserba atau karena letaknya yang dekat dengan toko yang serba ada itu.  Suasananya lebih sejuk dan asri. Ada gerbang kecil yang terbuat dari bilik. Tumbuhan markisa dan sejenisnya terlihat menjalar menghiasi pagar di sebelah kanan dan kiri gerbang. Di dalamnya terdapat saung-saung untuk para tamu yang ingin bacakan. Jumlahnya sekitar sepuluh buah.  Atapnya juga dari bilik. Tidak ada tempat duduk khusus. Hanya ada meja panjang yang tidak tinggi. Cukup dengan duduk bersila atau lesehan untuk menyeruput teh hangat.   Di bawah saung tampak kolam kecil dengan ikan-ikan emas yang sedang berlarian menyantap sisa-sisa makanan yang terjatuh. Aliran airnya berasal dari atas tebing yang ada di sekitarnya. Namun, bukan tebing sungguhan. Bangunan buatan manusia yang mirip dengan aslinya. Pohon-pohon kecil turut melengkapi suasana natural. Warnanya yang hijau menghiasi pelataran rumah makan dan menyegarkan pandangan mata yang melihatnya  Musik sunda beralun-alun, memanjakan tamu yang tengah makan otak-otak dengan sambal kacang. Aroma bumbu klasik tak kalah menyapa pengunjung. Bergentayangan di setiap sudut saung, menimbulkan hasrat indera pembau untuk menghirupnya. Tempat itu sungguh asri seperti hutan. Ya!. Mniniatur hutan yang bertata rapi. Sunyi dan senyap dari bunyi kendaraan dan kerumunan orang.  Lain halnya dengan suasana di luar sana. Bising dengan suara mesin kendaraan dan pabrik-pabrik baja. Di tambah lagi dengan pemandangan di pasar tradisional yang semrawut.

 Saung Melati. Begitulah nama saung yang kami jadikan sebagai tempat melepas rasa lelah. Tentunya penutup lapar juga. Letaknya di baris ketiga setelah Saung Anggrek dan Saung Mawar. Jenis bunga yang dijadikan nama gubuk mungil itu menambah semerbak suasana. Aku duduk bersila dengan gerak mata menelusuri daftar menu yang ada pada selembar kertas berlaminating. Begitu juga dengan yang lainnya, tengah sibuk memilih menu apa yang cocok dengan seleranya. Tak sebentar kami memutuskan pilihan menu yang akan disajikan nanti. “Kalian sedang pilih menu apa lagi baca majalah sih?” aku menyentil. Padahal apa yang mereka alami juga terjadi padaku. “Sudah milihnya? Yuk kita pulang!”, tambahku, membuat seisi saung penuh dengan aliran tawa dan senyum. “Mbak, ini pesanan kami.”, ucap Yanti seraya memberikan secarik kertas kepada pelayan. Kertas itu berisi tulisan menu, karya lidah-lidah kami yang berbeda.

Suasana tampak sunyi, tak ada yang bercakap. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring membentuk irama akustik bernada sopran. Itupun tidak keras dan kontinyu. Pohon kecil di belakang saung mengayunkan daun mudanya secara perlahan, mengucapkan “selamat menikmati” pada tamu istimewanya. Gurame dan ayam goreng cukup menemani nasi dan sayur yang akan dijadikan sebagai santapan siang. Ada juga lalapan dengan sanbalnya yang khas. Di tengah meja,  otak-otak tersusun rapi di atas piring. Gelas-gelas cantik tampak berbaris mengelilingi meja dengan isi yang berbeda satu sama lain. Warnanya yang beraneka ragam, bagaikan panji-panji partai yang berkibar di jalanan menjelang pemilu.

Alhamdulillah. rizki dari-Nya telah mengalir di balik Saung Melati. Angin yang bergelombang lembut mengusap peluhan keringat yang membasahi tubuh. Kukira lebih sejuk dibandingkan ruangan yang ber-AC. Kewajiban atas hak jasmani telah tertunaikan. Memasok energi untuk aktivitas-aktivitas berikutnya. Beragam aktivitas ukhuwah tercipta dalam gubuk beratap bilik itu. Menambah kokoh jalinan kasih berpayung cinta-Nya karena syukur telah terpatri dalam sanubari. Keragaman hati bertaawun dalam dua pilar utama. Semoga tetap kokoh hingga hari ini, esok, dan seterusnya.

  Matahari telah bergeser ke arah barat. Sinarnya tampak surut tergores waktu. Bayangan manusia lebih panjang dari sosok aslinya. Wajah langit tak berseri lagi, tetapi tetap khusyuk mendengarkan lantunan merdu yang keluar dari celah-celah menara masjid. Itu suara adzan yang menyeru umat Islam untuk bergegas menunaikan sembahyang Ashar. Mushola kecil di depan tadi yang kami tuju untuk shalat berjamaah.
Jepret….jepret….”, kamera seorang fotografer mengambil bayangan yang dituju dengan canggihnya. Sebuah alat pencipta keabadian kisah yang bisa dikenang kembali di masa mendatang. Kami berpose bersama di ruang album dengan tingkah dan gaya ABG. Ya! Memang masih ABG. Cakep, sholeh, dan prestasinya oke. Ah! Itu cuplikan nasyid dari Justice Voice rupanya.
Cahaya matahari semakin samar. Bingkai langit sudah memudar. Perlahan meninggalkan lembaran biru yang sudah memucat. Entah bentuk apa yang terjadi sekarang. Yang jelas masih mengandung unsur seni yang tinggi. Pepohonan mulai lesu, meninggalkan hikayat ukhuwah di sore itu. Semut-semut hitam tampak gelisah seakan-akan merasa terusik oleh deru mesin mobil. “Yuk, masuk!”,  seru Malia yang sudah berada di dalam mobil. Kuturuti perintahnya yang memelas karena kelelahan. Tak ingin mengajaknya bersenda gurau lagi. Di sekitar halaman parkir sudah tidak terlihat jejak Aris, Nunung, dan Yanti. Mereka sudah keluar sekitar tiga menit yang lalu.
Mobil bergerak dan melaju meninggalkan serangkaian kisah dalam saung hijau di kota baja. Semilir angin sore menemani laju mobil yang hendak menuju ke terminal Seruni. Lampu-lampu jalan masih terlihat cemberut, tapi tak sesinis siang itu karena beberapa jam lagi hari akan petang. Laju mobil terhenti di pertigaan Seruni. Usai sudah tugas Avanza berwarna silver itu dalam membondong tubuh kami. “Malia, terimakasih. Maaf bila merepotkan.”, kata terakhir dariku sekaligus penuntun untuk singgah ke dalam bus Prima Jasa yang tengah menanti penumpang di muka. Beberapa yang lain ikut naik karena satu arah denganku.

Raja siang telah kembali ke tempat peristirahatannya di ufuk barat. Meninggalkan cahaya kuning kemerahan. Menyepuh wajah langit sore. Pengalaman itu cukup melelahkan, tapi membangkitkan ukhuwah yang cemerlang. Kusandarkan tubuh ini pada kursi bus. Membayangkan kembali apa yang terjadi siang itu. Namun, bayangan itu kabur karena tersentak oleh suara pedagang asongan yang menawarkan barangnya pada penumpang. Aku hanya menggelengkan kepala merespon tawarannya. “Maaf, mas. Saya sedang lelah.”. Sebenarnya kalimat itu yang ingin kukatakan. Adzan Maghrib sudah berkumandang. Semua isi alam diam, patuh pada perintah-Nya.  Lukisan malam mulai tercipta, menghiasi lembaran hitam yang pekat. Auranya mampu menentramkan hati makhluk yang memandangnya. Sungguh, Mahakarya sempurna yang tiada tandingannya..         



* Cerpen di tulis oleh Marjaya Mahasiswa Prodi Matematika Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

06/05/11

Pendidikan; Sistem dan Bentuknya

Pendidikan; Sistem dan Bentuknya
(Sebuah Tawaran atas Pembacaan terhadap Pengertian Pendidikan)

Amala Nursyamsi*
( *Mahasiswa Jurusan Administrasi Negara, FISIP, UNTIRTA )


Pendidikan merukan suatu elemen bangsa yang tidak boleh tidak kita juga menyebutnya sebagai asset untuk pengembangan bangsa. Dengan begitu peran sentral pendidikan terhadap bangsa adalah harga mati bagi seluruh komponen yang terdapat di dalamnya. Pendidikan dan system yang ada di dalamnya merupakan satu kesatuan, sehingga dapat disebut sebuah ketimpangan apabila dalam perjalanannya pendidikan mengabaikan system yang ada di dalamnya. Dibawah ini beberapa pengertian pendidikan yang nantinya diharapkan mampu memunculkan beberapa system pengembangan bagi diri, masyarakat, bangsa dan Negara, sebagai berikut:
1.      Dalam pengertian istilahnya, menurut Godrey Thompson, Pendidikan adalah pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan yang tepat didalam kebiasaan tingkah lakunya, pikiranya dan perasaannya.[1] Dari pengertian di atas penulis hendak mengatakan bahwa adanya sebuah pendidikan tak luput dari adanya system, yang dalam hal ini adalah system pergaulan dan bermasyarakat dalam sebuah lingkungan. Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa hal tersebut sangat berpengaruh terhadap pola tingkah laku, pemikiran dan perasaan.
2.      Pengertian yang lain adalah bahwa Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[2] Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa merancang sebuah system pendidikan yang kemudian diharapkan agar dapat berpengaruh terhadap seorang individu (peserta didik).
3.      Menurut Juhn Dewey Pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.[3]
Dari beberapa pengertian di atas penulis menyimpulkan beberapa hal yang layak menjadi system pendidikan:
1.      Sistem pendidikan yang berbasis pada pergaulan dan bermasyarakat. Ini dirasa penting karena bagaimanapun pemaduan antara pendidikan dan system pergaulan berimplikasi terhadap perkembangan suatu bangsa. Bagaimana pendidikan disatukan dengan system pergaulan  yang di dalamnya mengandung unsur-unsur toleransi, pluralitas, dan lain-lain, sehingga diharapkan menimblkan apa yang disebut dengan keharmonisan dalam bertingkah laku.
2.      Sistem pembelajaran terencana. System ini diberlakukan sebagai sebuah aturan untuk menjalankan suatu pendidikan atau proses pembelanjaran. Dalam hal ini, pendidikan diartikan sebagai pembelajaran, baik itu secara formal ataupun informal. System seperti ini melibatkan adanya ketetapan dan ketepatan visi dan misi Sehingga target dari dijalankannya suatu pendidikan atau proses pembelajaran dapat tercapai. Kalau kita meminjam target yang dikemukakan oleh UU sisdiknas adalah  pengembangan potensi diri guna terbentuknya kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan.
3.      Adanya system pengawasan dan pengawalan dalam pendidikan atau proses pembelajaran. Dengan kata lain, bahwa dalam proses ini, guna membentuk suatu pendidikan yang ideal diperlukan adanya pendampingan, pendampingan seperti ini dapat dilakukan oleh orang yang lebih tua, atau –biasanya dalam proses pendidikan- diperlukan adanya peran orang tua juga guru, sebagai pengawal juga sebagai pembimbing.
Sehingga dengan beberapa system di atas, yang kalau semua dapat dipenuhi, maka akan bisa dibentuk suatu pendidikan yang ideal dalam membentuk moral bangsa, yang tidak lain sebagai jalan untuk mengembangkan bangsa dan Negara.


[1] Pengertian pendidikan menurut Godrey Thompson diakses dari http://www.zonependidikan.co.cc/2010/05/pengertian-pendidikan-menurut-para-ahli.html pada tanggal 7 Maret 2011.
[2]Pengertian pendidikan oleh UU sisdiknas diakses dari http://www.zonependidikan.co.cc/2010/05/pengertian-pendidikan-menurut-para-ahli.html pada tanggal 7 Maret 2011.
[3]Pengertian pendidikan menurut Juhn Dawey diakses dari http://www.zonependidikan.co.cc/2010/05/pengertian-pendidikan-menurut-para-ahli.html pada tanggal 7 Maret 2011.

Salam dari Kami ^_^

Kami adalah Kumpulan Mahasiswa Bidik Misi Untirta
 Bercita-cita membangun Bangsa.

Kawan-kawan sekalian,,jangan jadikan kemiskinan membuat kita malas.
malas untuk belajar,,bekerja,,dan berkarya untuk bangsa.

Salam Pendidikan,,

Ikadiksi Untirta

Chat


ShoutMix chat widget